Halaman

Sabtu, 29 Oktober 2011

Pahitnya Proses Belajar

"Learning is unduly painful process."

Entah kapan saya menemukan statement ini. Namun tanpa menghiraukan nilai estetika, semantik, sintaksis, morfologi, maupun fonologi, kalimat itu saya endapkan di dalam otak tanpa prejudis. Sebuah tindakan nekat. Padahal itu hanyalah kalimat yang sebetulnya bisa dengan mudah dipatahkan oleh satu fakta baru dari individu lain yang merasakan pengalaman empiris berbeda. Kalimat itu juga menjadi modal motivasi pas-pasan (walau tendensinya lebih kepada peringatan) yang belakangan saya temukan manfaatnya, khususnya untuk mengantisipasi sentimentalis dan sinisme yang hadir dalam berbagai bentuk dan warna layaknya bunglon.

Berdasarkan pengalaman pribadi, rasanya tidak ada pengetahuan ataupun keahlian yang bisa didapatkan dengan mudah. Semuanya butuh pengorbanan, baik fisik maupun mental. Dan layaknya medan pertempuran, ada yang mampu bertahan hingga muncul sebagai pemenang, pemimpin atau avant garde. Ada pula yang sekali terjungkal, tak pernah lagi bangkit menata hati. Mati untuk selamanya.

Menengok sejenak pencapaian anak-anak bangsa seperti Sukarno yang berjuang hingga kita dapat menghirup segarnya udara kebebasan, B.J. Habibie yang kegeniusannya tidak perlu lagi dipersoalkan, Chairil Anwar yang karyanya tidak hanya berpengaruh dalam kesusasteraan melayu di Indonesia tapi juga di Malaysia dan deretan anak-anak kecil yang telah mengharumkan nama negara di persada Olimpiade fisika, matematika dan seterusnya memang selalu membuat kita tercengang. Namun berapa banyak yang menyadari bahwa mereka juga bermula dari tidak tahu, kemudian menjadi tahu. Apa yang menempatkan mereka di level lebih tinggi tidak lain adalah kerja keras dan semangat yang tak pernah bisa dipatahkan oleh apa pun.

Tidak dipungkiri dalam proses belajar, kita sering dihadapkan dengan pelbagai rintangan ataupun guru yang lebih cenderung menggunakan rotan atau sarkasme untuk menohok tanpa ampun. Namun tidak dipungkiri juga bahwa rintangan inilah yang menjadikan kita jauh lebih kuat dan tentu saja masih banyak guru yang selalu siap memberikan pedoman tanpa pamrih. Siap menopang tanpa pernah mengharapkan gelar kehormatan. Tapi kalau dipikir secara saksama, patutkah teguran demi kebaikan dan lecutan demi menyadarkan itu membuat fondasi pertahanan kita hancur berantakan?

Bukan itu saja, eksistensi hukum kontras dijamin akan selalu membuat kita repot, bahkan kewalahan. Di saat sebahagian orang mengatakan, "You did good man." Sebagian lagi dengan cara yang tidak manusiawi akan mengatakan hasil usaha kita tidak lebih baik dari sampah. Sedih tetap sedih. Pahit memang pahit. Kita boleh saja kecewa, hilang selera makan. Tetapi tidak perlu berputus asa. Toh cuma kelompok ad hoc, bukannya semua. Lagi pula dunia ini masih mengorbit pada paksinya dan kehidupan manusia tetap terikat pada "SUDAH, SEDANG dan AKAN." Jadi kepada mereka yang tidak manusiawai ini, tidak perlu kita memendam benci berlebihan. Haha

Pada akhirnya, semua itu hanyalah selebrasi dari akumulasi proses untuk mendorong kemampuan kita. Dan ketika seorang manusia mulai belajar untuk tahu, ketahanan fisik dan mental memang perlu untuk membuatnya terus tegak hingga akhir. Tak tergoyahkan. Selengkapnya...

Minggu, 16 Oktober 2011

Permaisuri menenggak cap tikus

Seorang permaisuri sedang menenggak cap tikus
Mata dan jiwanya merah karena rakus
Belum sempat
ditenggaknya gelas ke-empat
Berubah mulutnya menjadi kakus Selengkapnya...

Jumat, 14 Oktober 2011

Sajak Personifikasi (RENDRA- Sajak Bulan Mei di Indonesia)

Aku tulis sajak ini di bulan
gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak
lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa
alamat
Kelakuan muncul dari
sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur
simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini. Selengkapnya...

ASU (Joko Pinurbo)

Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah; tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.

Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.

Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.

Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.

Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!” Selengkapnya...

Presiden Kentang Malah Kentut

Aku duduk bersama presiden kentang
menikmati secangkir petang
Jiwanya bersemangat bercerita tentang
orang berutang
yang berlari kencang
dikejar babi hutan

Sungguh khusyuk telingaku mendengarkan

Saat tawaku tak tertahankan
melihat ia menggambarkan
bokong orang berutang
digigit babi hutan
Mendadak ia melepaskan kentut yang penuh kekuatan

Huh..!

Seisi dunia melenguh
Aku mengeluh

Semua mata tertuju padaku
Mereka pikir aku yang kentut
Tapi presiden kentang
teriak lantang
pada semua kentang
"Saya yang kentut.
Bukan kolegaku ini yang hanya pentung!"

Presiden kentang memang baik
Dia mahu meluruskan persoalan kentut
Meski dunia mengutuk-ngutuk

Ah...

Lama aku diam tertunduk
dan dalam diam aku terkentut Selengkapnya...

Kamis, 13 Oktober 2011

"Ini Hadiah Untukmu Pelacur."

Ditengah deburan angin yang mengigit
sekujur pipi malam
Kau melangkah perlahan
dengan setangkup nyeri dan gigil
di sulbimu
Entah apa yang sudah mereka lakukan padamu
Yang kutahu kau memberikan perlawanan sengit
pada hidup yang lama dibungkus keserakahan

Nafsu
Jemu
Semu

Semuanya berpadu lalu menjerat
lehermu yang seharum karat

Apa yang tersisa untukmu?
Tidak ada...
Siapa yang bakal melindungimu?
Belum tentu ada...
Namun tetap juga kau susuri setiap keinginan langkah
Apa yang membuatmu begitu tabah pelacur

Sejenak, kau berhenti menenggak napas ketenangan
tanpa melihat aku berdiri kelelahan
Kelelahan melihat kau coba mengobati
sederet lukamu dengan perahan jeruk
Kau tersenyum manis kepada sekelebat bayangan belut
yang berlalu
meski rasa di dalam sumsummu sudah lama lebur,
tenggelam di dalam selut

Masih mampukah kau pelacur?
Sekalipun jiwamu abadi sepanjang rentang waktu
seisi dunia masih selalu siap menentangmu

Ah, pelacur...

Perih memang perih
Tapi sejak detik pertama tubuh aibmu diludah
Telah kupanjatkan doa yang tak sudah-sudah
"Jangan pernah kau patahkan sendi kekuatanmu
Masih ada denyut yang mahu bermandi darah menopangmu." Selengkapnya...

Ke Yunani Sambil Onani

Seorang pemuda gagah sedang berjalan kaki
ke Yunani
Wajahnya bercahaya bagaikan panahan kilat
Jiwanya bertenaga laksana gerakan silat
Tapi saat melihat tanah ia onani
Saat melihat air ia onani
Saat melihat api ia onani
Saat melihat udara ia onani
Saat melihat bidadari
dia mengambil cangkul petani
Dihantamnya tengkuk bidadari dengan berani
Lalu dia memberikan tubuh dan hati bidadari
dengan takzim kepada petani

Sampai di Yunani dia dibunuh segerombolan penyair Selengkapnya...

Ke Yunani Sambil Onani

Selengkapnya...

Rabu, 12 Oktober 2011

Kentutmu Tidak Mengikis Cintaku

Disaat wanita lain meregang nyawa
demi keindahan dan kesempurnaan
Kau melangkah dengan jiwa yang tertawa
Tak secuilpun kau hirau pada nadi kenaifan
yang menghias sekujur derita Hawa
dari zaman ke zaman

Disaat wanita lain menata diri
dengan gemerlap perhiasan setinggi gunung
Kau tampil dengan sentuhan alami
Tanpa sedikitpun merasa bingung atau tersinggung
pada bunya yang menatap nyalang
Ah, betapa langit memberkati jiwamu

Dan selagi aku melamun
Mendadak kau ledakkan sumbu kekuatan kentutmu
persis bunyi senapan beruntun
Trutt... Trutt... Trutt... Trutt
Trutt... Trutt... Trutt... Trutt

Oh Tuhan...
Lamunanku tersentak
Napasku tersendat-sendat

Terlalu..!
Kau memang keterlaluan..!
Tega-teganya kau lakukan itu dihadapan para penonton
Aku malu
Malu semalu-malunya

Namun apa dayaku
Aku mencintaimu
dengan segenap melodi darahku
Dan Tuhan menciptakan kita untuk
saling melengkapi dan menyanyangi Selengkapnya...

Kukirim Sebilah Pedang Kepada Tuhan

Tuhan
Telah kukirim sebilah pedang lewat hitam pena cinta
agar nanti Kau tebas sekujur tubuh kata
sampai darahnya menerangi tujuh lantai neraka

Biar..!

Biarkan semua pendosa terhiris gosong Selengkapnya...

Selasa, 11 Oktober 2011

Saat Kerendahan Hati Menjadi Tameng

Kepada anakku
Kuberikan kau pesan yang pernah diberikan ayahku padaku
Sesungguhnya Tuhan menciptakan kerendahan hati
bukan untuk kau simpan di dalam peti mati
Melainkan kau jadikan tameng disaat kau
bersimbah kekayaan, ketenaran, dan kekuatan
Bukankah gunung tidak artinya di dada angkasa
Apalagi pengetahuanmu yang hanya setangkup buih di lautan
Saat bunga-bunga itu mulai tumbuh bermekaran
Siapa kau pikir dirimu untuk menjatuhkan penilaian? Selengkapnya...

Saat Kemaluan Bicara

Saat kemaluan bicara,
dihapusnya semua makna yang tertera
dalam kitab kesucian
Digiringnya pemahaman
jatuh di lembah kenistaan
Untuk menenggak secangkir racun kebutaan

Seketika dunia terbelah menjadi dua;
Satu mengatakan,
itu adalah kebenaran mulia
Satu lagi mengatakan,
itu adalah aib paling hina

Kebenaran?
Aib?
Aib?
Kebenaran?

Siapa yang layak menentukan benar atau salah
Saat Tuhan sendiri mengutus dan memanggil manusia
dalam keadaan telanjang..?

Maka datang seorang pendusta berserban
Mulai berkhotbah tentang nilai-nilai kebenaran
Walau dia sendiri pernah telanjang, ditelanjangkan
dan menelanjangkan Selengkapnya...

Senin, 10 Oktober 2011

TRAGEDI DI DEPAN CERMIN

Dia meletakkan cermin
di depan cermin
lalu berusaha berpikir jernih;

Apakah memang pramuniaga bertato paling
layak menjual cermin?

Berbisik cermin
di depan cermin;
"Tragedi lebih tertarik pada wajah
ketimbang hati
Tragedi lebih tertarik pada ranjang
ketimbang sayang
Tragedi lebih tertarik pada sinting
ketimbang penting
Tragedi lebih tertarik pada kata
ketimbang makna
Tragedi lebih tertarik pada hujatan
ketimbang pujian"

Lalu dia memecahkan cermin
dan dibangunnya kembali cermin
di depan cermin Selengkapnya...

Minggu, 09 Oktober 2011

Tidak Ada Yang Seindah Maut

Lama aku terlentang di bibir
pedih yang tandus
menggapai nyawa diantara gugusan
bintang yang ketus
Namun mengapa kau tak pernah hadir
mengoyak selaput rinduku?

Tidak ada lagi yang tersisa di persinggahan ini
Semuanya dilindas keangkuhan yang membutakan nalar
Keangkuhan yang membunuh bunga-bunga kecil di Palestina
Merongrong jadad raya dengan kehitaman cakar
Menyeret penafsiran ke lembah paling hina
Lalu dunia tersenyum, berbangga dengan kekeliruan ini

Apa lagi yang bersinar di persinggahan ini?
Saat segalanya meredup dihembus pawana keserakahan
Kitab keagungan hanya sebatas perhiasan
Jiwa membengkak hanya dengan pujian-pujian mini
Persaudaraan dipenggal demi selembar kertas
Dan kau tersenyum, lalu tertawa lepas

Ah...

Kemana hilangnya semua nasihat Nabi?
Mengapa tak kulihat serpihan bayangnya disini?
Yang ada hanya rasa benci pada sesama
Seakan perpecahan itu dapat membentuk lapisan ozon baru
yang nantinya akan melindungi kulit mereka yang penuh kusta
Nyatanya dunia keliru karena matahari dicipta bukan untuk merusak

Ah...

Lama aku terlentang di bibir
pedih yang tandus
Menggapai bintang diantara gugusan
bintang yang ketus
Namun mengapa kau tak pernah hadir
merenggut sisa hidupku yang membusuk? Selengkapnya...

Sabtu, 08 Oktober 2011

Sebagaimana puisi mengajarkan

Sebagaimana puisi mengajarkan
aku untuk meredam sentimentalis,
retorika dan didaktis
Seperti itulah kau hadir Nak

Sebagaimana puisi mengajarkan
aku untuk berhenti mengedipkan
mata, lalu berpikir sejenak
Seperti itulah kau hadir Nak

Dan saat ini telah kulepaskan
jiwa dan ragamu, terbang bebas
bagaikan lembing-lembing puisi Selengkapnya...

Jumat, 07 Oktober 2011

Pembicarakan Cinta Dalam Perspektif Pencerahan

Aku ingin
membicarakan
cinta dalam

perspektif
pencerahan
Tapi kepalaku

pening dan
aku ingin
tidur Selengkapnya...

Tidak Ada Yang Seindah Maut

Aku terlentang di bibir
pedih yang tandus
Menggapai nyawa di antara gugusan
bintang yang ketus
Namun mengapa kau tak pernah hadir
mengoyak selaput rinduku? Selengkapnya...

Dalam Lingkaran Banci

Pertama kali melihatmu menyisir labirin malam
Aku terperangah
Nyaris kehilangan nyawa

Cahayamu seindah seroja yang menghiasi bintang
Langkahmu seanggun primadona di atas pentas
Mengguyur segenap raksa pada jantung yang berdetak

Namun sungguh!
Saat kau singgah membisikkan kebenaran di telingaku
Aku terpental
Nyaris kehilangan nyawa

Betapa suaramu itu sekeras ringkikan kuda liar
Betapa desahmu itu laksana halilintar yang menyambar
Menghancurkan segenap persendian

Oh Tuhan…
Aku sakit
Aku sakarat

Lalu pagi ini,
Di saat kenangan tentang wujudmu berderit dalam roda putaran logam
Seluruh indraku terpancang pada sebuah kebenaran, “Betapa kemunafikan itu adalah intuisi terkutuk!” Selengkapnya...

Sejumlah Korban Tikaman

Di pintu itu ada tanda
tengkorak merah muda
Dan dibalik pintu itu,
mereka terlentang
Wajah mereka sepucat kentang
Tubuh mereka bersimbah bintang
"Cantumkan nama Anda di formulir." Kata
perawat yang muntah di balik meja Selengkapnya...

Penyejuk Jiwa Yang Liar

Saat duka dan gelisah menancapkan cakar
Cawan kelalaian tumpah disentuh fajar
Gerakku terpaku...

Tatkala jalan tertutup asap yang sehitam dosa
Panas kehinaan menetes, melumur sekujur asa
Nafasku terpasung...

Ah,
Kususuri kembali jejak fatamorgana untuk menemukan
asal penciptaan
Kutenggak kembali air kehidupan di telaga Ismail
agar sejuk jiwaku yang liar
Lalu kembali berlari di antara pilar-pilar
yang menopang atap Al-Hambar
Namun semuanya sia-sia

Karena di sini kutemukan namamu
Di sini, di dalam sembah sujudku Selengkapnya...

Seindah Gerak Penari Kraton

Seindah gerak penari kraton dalam
tangkupan rusuk yang patah
Sayapmu merentang di bawah nestapa
Menerbangkan semua debu hitam kenistaan
Meledakkan nyala biru api kejernihan
Lalu jantung kenyataan mulai berdetak
Memompa sari-sari kesadaran ke setiap
penjuru nadi yang lama terlelap
Dan di sudut malam terpekat
Nyawaku bergumam, "Kau memang malaikat yang kuat."
Selengkapnya...

Kamis, 06 Oktober 2011

Burungku Onani

Mengapa burung itu
tak pernah henti berkicau?
Suaranya yang nyaring memecah
keheningan tuli
Bulunya yang lebat mengundang
jutaan geli

Aku ingin melepasnya
bebas di tubuh maya
Tapi kata bapak itu hadiah
dari Tuhan. Jangan biarkan ia
merusak taman

Ah, bapak juga
"Mungin ada baiknya
kalau aku onani dulu." Selengkapnya...

Rabu, 05 Oktober 2011

Saya Penat Bicara Tentang Negeri Ini

Saya penat bicara tentang negeri ini
Politikus tak pernah henti mengakali
Pendidikan hanya sebatas kisi-kisi
Kesehatan gratis tak lebih dari ilusi
Hiburan mentok di layar televisi
Liburan dihabiskan di lokalisasi
Sumber daya alam dikuras habis
Sumber daya manusia dibiarkan mengemis
Bencana alam begitu sulit ditangkis
Macet tak henti-henti memanasi diskusi
Masalah tak pernah menemukan solusi

Oh! Ah! Uh! Ih!
Daripada terus mengeluh
Lebih baik saya mendesah Selengkapnya...

Selasa, 04 Oktober 2011

Tubuhmu Yang Kemarin

Aku menginginkan tubuhmu yang kemarin
Tubuh yang menghidupi dan menghancurkan para
nabi. Mengandung berkah serta jutaan
penyakit

Di dalam tubuh itu akan kubangun cahaya
berlapis-lapis. Lalu kusematkan padanya
sebongkah bintang
Bintang yang dapat menyinari maya
dan derita laut
Sampai semuanya
terbelah menjadi maut Selengkapnya...

Setenang Buaya

Dari tebing berlumpur,
dengan kekuatan tak terbendung
Ia merangkak, siap bertempur
Tak secuil pun merasa takut
pada alam yang kian mereput
maupun langit yang dicekik mendung

Dingin tatapan matanya mampu
menoreh luka sampai ke jantung
Kukuh kerangka rahangnya mampu
mengoyak sekujur kemegahan gunung
Deras lecutan ekornya mampu
mengundang tujuh lapisan raung

Seindah gerak penari kraton
Ia meliuk-liuk di dasar kali
memecah arus yang selembut nadi
dengan kulitnya yang sekeras beton
Oh, ia menukik dan menjunam!
Laksana sebilah pedang yang menghunjam

Serangkaian pesan tak pernah diutus
saat ia memapir merenggut nyawa
Disentaknya semua yang bisa terputus
Diseretnya semua yang bisa dibawa
Habis! Tak menyisakan apa-apa
Berlalu! Tanpa meneteskan air mata

Kini ia merangkak ke singgahsana
Berjemur di bawah lembap udara
Mensyukuri berkah pemberian Tuhan
Mengagumi kekuatan pemberian alam
Seperti kemarin ia tengkurap, wajahnya datar, mulutnya- menganga
persis para penganggur! Selengkapnya...

Pecah

Pecah kiblatku menjadi serpihan kejora
saat kau melintas lesu di poros maya
Menyeret kafan yang terbuat dari anggur
Menjunjung keranda yang terbuat dari susu

Pecah syahadatku menjadi runtuhan surga
saat kau melintas pilu di lidah karang
Membelah ombak dengan kebisuan
Mengikis pantai dengan hakisan Selengkapnya...

Senin, 03 Oktober 2011

Bersama Transendental

Aku duduk bersama transendental
melihat mentari jatuh terpental
menuju titik senja terjauh
meninggalkan kami dijajah bayu

"Ada
apa
dengan
keindahan,
semua angan
kepadanya ber-Tuhan?

"Ada apa dengan bujuk rayu,
di bawah kakinya kearifan layu?" Selengkapnya...

Akhirnya

Sebelum mengenal bayangan kekasih
Aku belajar berbicara fasih,
mengumpul semua petuah basi
untuk dikunyah bersama ilusi
Akhirnya perjuanganku berhasil
Kekasihku datang membawa besi

Sebelum mengenal sentuhan rindu
Aku belajar merangkai lagu
Memeras semua kepahitan ragu
untuk ditenggak bersama semu
Akhirnya ritual menjadi lengkap
Rinduku datang mengiris tekak Selengkapnya...

Temanku Pelacur Kecil

Sepanjang malam pelacur kecil menemaniku
Kami bersulang atas derita sebatang paku
Lalu ia berkisah tentang kesucian pelacur
Dan aku bernyanyi tentang jiwa yang hancur

Sedari dulu paku hadir demi pengorbanan
Raganya dipasung atas nama kesatuan
Merekatkan semua kepingan yang terpisah
Lewat bujukan godam berbisa

Pelacur menjadi bukti sebuah keserakahan
dalam segumpal roti bernama kemaluan
Apa yang lebih suci dari sebuah bukit?
Saat manusia lahir tanpa sekeping hati

Sepanjang malam pelacur kecil menemaniku
Kami bersulang atas derita sebatang paku
Lalu ia berkisah tentang kesucian pelacur
Dan aku mati dengan jiwa yang hancur Selengkapnya...

Bangun Pagi

Bangun pagi kugosok hati
Tidak lupa mengingat mati Selengkapnya...

Anomali Alam

Di ufuk barat ada

lautan terbentang haus

Di ufuk timur ada

daratan terhampar rakus


Diantara keduanya...


Daun-daun berguguran

ditampar musim

Burung-burung berterbangan

menembus tembok

Anak-anak bergelimpangan

dilindas ambisi Selengkapnya...

Minggu, 02 Oktober 2011

Duhai Istriku

Kusunting dikau atas
nama kemulian. Walau
mas kawinnya tetap
saja utang! Selengkapnya...

Ada Orang Di Atas Orang

Ada orang di atas orang
dari tadi tak henti bergoyang
penat di kiri, ia ke kanan
dalam keringat tubuhnya terbenam

Ada orang di atas orang
dari tadi tak henti menikam
bosan tengkurap, ia mengangkang
sampai lawannya mati dan bungkam Selengkapnya...

Hutang Dan Kutang

Dengar sepintas keduanya nyaris sama
namun kerajaan fonetik sudah lama
berfatwa tentang nilai sebuah desah,
dampak sebuah ledak. Keduanya terpisah
bagai kaki yang mengangkang. Apalagi
disentuh bibir semantik dan leksikologi

Hutang adalah penderitaan dan sederet luka
membuat kepala penuh dengan cuka
mengusir gairah dari jiwa muda
Hutang menyimpan suram masa lalu
mencabik masa depan dengan benalu
sepanjang hayat dikejar malu

Kutang adalah representasi anugerah
disitu bertengger induk segala buah
yang siap menumpahkan kehidupan pada cahaya
Tanpa kutang dunia berada dalam bahaya
ditiup semut segalanya akan bergoncang
mengejutkan naga dari kematian panjang Selengkapnya...

Segerombolan Nabi Palsu

Segerombolan nabi palsu berarak ke medan
tempur. Meski bokong mereka hitam, Tuhan
telah menjanjikan surga berserta segala
isinya. "Kita ditakdirkan memikul anugerah
yang maha besar!" Pekik panglima nabi palsu
"Maka dari itu, jangan pernah takut saudaraku
Kuatkan tulang dan tekad kalian. Sesungguhnya
kucing, lebah dan laba-laba akan menyertai
kita menuju kemulian!"

Lalu sebatang pohon tumbang
menimpa gerombolan nabi palsu
Ah, semuanya penyok dan mati dalam iman Selengkapnya...

Pendusta Ketenaran

Sebelum surga dan segala isinya tercipta
Tuhan menyimpan rohnya dalam guci berlian
Dijaga malaikat yang enggan berkata-kata
Hanya menatap tajam di poros ketinggian
Saat mulai melangkah ke dunia, pandangannya
tunduk memendam kekuatan. Tingkahnya rancu
di mata si bodoh. Namun hati dan akalnya
jauh dari lidah hitam yang pengecut
Kematiannya mengudang serangkaian tawa
"Hah, satu lagi pelawak tumpas diterkam
keagungan!" Begitu kata para punggawa
meski pengemis gigih membangun makam

Begitulah nasib pendusta ketenaran
Hikayatnya terukir dalam melodi suram Selengkapnya...

Sabtu, 01 Oktober 2011

Kematian Perindu Ulung

Perindu ulung bernapas

melalui kata. Dalam

setiap jejak langkahnya

ada makna menunggu tafsir


Tatkala jiwa diselimuti

beledu keangkuhan. Akan

pudar kearifan untuk melihat

hidup dibalik kematian Selengkapnya...

Sandal Di Rambutmu

Sandal itu sandalku juga. Pernah
kupakai mengejar pencuri yang
berlari kencang ke lubang cacing.
Sudah tak terhitung tempat yang
pernah kami kunjungi. Di darat
maupun di laut. Di kata
maupun di kuku. Bahkan ia
pernah menemaniku membangun
impian di dalam cinta.

Sekali waktu, sandal itu pernah kupakai ke planet
Pluto. Di tengah jalan ia bercanda dengan
tahi kerbau. Ah, cepat-cepat kucuci mulut dan
jiwanya. Biar kembali putih sebersih bintang.
Sampai di Pluto sandalku ngotot ingin pulang
"Aku rindu pacarku," katanya
"Mana mungkin kau punya pacar," balasku, "kaukan hanya
sandal."
"Ya... Sandal pacaran dengan sandal dong."
Ah, baru kusadar kalau aku hanya
memakai satu sandal.

Sekarang sandal itu sudah berubah
menjadi kupu-kupu bersayap bopeng.
Lama benar ia bertengger di rambutmu
yang mulai rontok satu persatu. Selengkapnya...

Kepala Tukang Dan Rumah

Sebelum rumah itu dibangun
kepala tukang menatap anggun
meski hati dan matanya rabun
hitungannya jauh melampui lambung

Secepat kedipan raja tekukur
dikerahnya kadetnya menarik pengukur
semuanya siap bekerja lembur
walau mentari duduk terpekur

Satu persatu tiang dipasak
menjadi sanggah menjunjung rangka
biar atap mudah digasak
memayungi lantai dari prasangka

Setelah dinding jadi pelengkap
kepala tukang menatap puas
mengagumi dirinya yang begitu cakap
diberi Tuhan pengetahuan luas

Malam tiba; rumah itu terang-benderang
kepala tukang datang berkunjung
membawa bensin dan sebilah parang
dibakarnya semua dari hujung ke hujung Selengkapnya...

Antara Aku Dan Keabadian

Antara aku dan keabadian
terdapat lembah hijau dipenuhi
anggur, dayang-dayang dan serangkaian
pesta. Sebagai tamu, hasratku diberkati
dengan suguhan nikmat sedemikian
rupa. Tanpa pamrih

Antara aku dan keabadian
terbangun gubuk dari serpihan kasih
menanti aku tidur bersama kematian
di atas tumpukan jiwa-jiwa bersih
yang siap menenggak madu kedamaian
Semuanya hambar tanpa ilusi

Antara aku dan keabadian
tergelar sejadah dari daun pepohon
zaitun. Namun cintaku pada kesendirian
begitu angkuh, melebihi pias monoton
di wajah biduan yang sering kesepian
tanpa penonton

Antara aku dan keabadian
terbentang jarak bernama
waktu. Nafasku di atas titian
sesekali sumbang diguyur nanah
Menetes, merangkak kemudian
beku tanpa warna

Antara aku dan keabadian
ada jurang yang harus diretas
Aku tak ingin dikekang pendirian
Selamanya tersungkur di sudut pentas
menggapai tepian demi tepian Selengkapnya...