Halaman

Sabtu, 29 Oktober 2011

Pahitnya Proses Belajar

"Learning is unduly painful process."

Entah kapan saya menemukan statement ini. Namun tanpa menghiraukan nilai estetika, semantik, sintaksis, morfologi, maupun fonologi, kalimat itu saya endapkan di dalam otak tanpa prejudis. Sebuah tindakan nekat. Padahal itu hanyalah kalimat yang sebetulnya bisa dengan mudah dipatahkan oleh satu fakta baru dari individu lain yang merasakan pengalaman empiris berbeda. Kalimat itu juga menjadi modal motivasi pas-pasan (walau tendensinya lebih kepada peringatan) yang belakangan saya temukan manfaatnya, khususnya untuk mengantisipasi sentimentalis dan sinisme yang hadir dalam berbagai bentuk dan warna layaknya bunglon.

Berdasarkan pengalaman pribadi, rasanya tidak ada pengetahuan ataupun keahlian yang bisa didapatkan dengan mudah. Semuanya butuh pengorbanan, baik fisik maupun mental. Dan layaknya medan pertempuran, ada yang mampu bertahan hingga muncul sebagai pemenang, pemimpin atau avant garde. Ada pula yang sekali terjungkal, tak pernah lagi bangkit menata hati. Mati untuk selamanya.

Menengok sejenak pencapaian anak-anak bangsa seperti Sukarno yang berjuang hingga kita dapat menghirup segarnya udara kebebasan, B.J. Habibie yang kegeniusannya tidak perlu lagi dipersoalkan, Chairil Anwar yang karyanya tidak hanya berpengaruh dalam kesusasteraan melayu di Indonesia tapi juga di Malaysia dan deretan anak-anak kecil yang telah mengharumkan nama negara di persada Olimpiade fisika, matematika dan seterusnya memang selalu membuat kita tercengang. Namun berapa banyak yang menyadari bahwa mereka juga bermula dari tidak tahu, kemudian menjadi tahu. Apa yang menempatkan mereka di level lebih tinggi tidak lain adalah kerja keras dan semangat yang tak pernah bisa dipatahkan oleh apa pun.

Tidak dipungkiri dalam proses belajar, kita sering dihadapkan dengan pelbagai rintangan ataupun guru yang lebih cenderung menggunakan rotan atau sarkasme untuk menohok tanpa ampun. Namun tidak dipungkiri juga bahwa rintangan inilah yang menjadikan kita jauh lebih kuat dan tentu saja masih banyak guru yang selalu siap memberikan pedoman tanpa pamrih. Siap menopang tanpa pernah mengharapkan gelar kehormatan. Tapi kalau dipikir secara saksama, patutkah teguran demi kebaikan dan lecutan demi menyadarkan itu membuat fondasi pertahanan kita hancur berantakan?

Bukan itu saja, eksistensi hukum kontras dijamin akan selalu membuat kita repot, bahkan kewalahan. Di saat sebahagian orang mengatakan, "You did good man." Sebagian lagi dengan cara yang tidak manusiawi akan mengatakan hasil usaha kita tidak lebih baik dari sampah. Sedih tetap sedih. Pahit memang pahit. Kita boleh saja kecewa, hilang selera makan. Tetapi tidak perlu berputus asa. Toh cuma kelompok ad hoc, bukannya semua. Lagi pula dunia ini masih mengorbit pada paksinya dan kehidupan manusia tetap terikat pada "SUDAH, SEDANG dan AKAN." Jadi kepada mereka yang tidak manusiawai ini, tidak perlu kita memendam benci berlebihan. Haha

Pada akhirnya, semua itu hanyalah selebrasi dari akumulasi proses untuk mendorong kemampuan kita. Dan ketika seorang manusia mulai belajar untuk tahu, ketahanan fisik dan mental memang perlu untuk membuatnya terus tegak hingga akhir. Tak tergoyahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar