Kemarin kau tabrak kucingku
sampai giginya rontok di atas aspal.
Hari ini kau tabrak anak tetanggaku
sampai tangannya patah tiga, tak bisa lagi mengepal.
Kalau Tuhan mempertemukan kita,
akan kuhancurkan mukamu dengan cakarku
agar kau tahu semua yang kaulindas itu makhluk bernyawa.
Dan mereka tak tahu menari salsa dalam keranda.
Selengkapnya...
Selasa, 08 November 2011
Akibat Ulah Pembalap Liar
Kutancap Cinta Di Selangkanganmu
Siapa bilang cinta itu sesuci bintang
Siapa bilang cinta itu semanis petang
Bukan sembarang raga mampu melumat gempal dagingnya
Bukan semua hati mampu menyesap serbuk sarinya
Percayalah sayang, sesaat sebelum kau mulai berkilah
Sudah kutitip ngilu di hujung bilah
Tak perlu kau kucur tangis di ranjang beku
Apalagi menafsir nikmat yang mengeras kaku
Kau tahu aku tak lebih dari kumbang penhisap
Siap memompa syahwat sampai kelopakmu lesap
Maka jangan salahkan ranting yang terlanjur patah
Kau sendiri yang tak henti mendesah resah
Sudah kuberi semua agar puasmu terkuras
meski darahku habis, kering dan memelas
Ahai, ternyata malam ini kau datang lagi sayangku
Merayu aku menancapkan cinta di selangkanganmu
Selengkapnya...
Sabtu, 29 Oktober 2011
Pahitnya Proses Belajar
"Learning is unduly painful process."
Entah kapan saya menemukan statement ini. Namun tanpa menghiraukan nilai estetika, semantik, sintaksis, morfologi, maupun fonologi, kalimat itu saya endapkan di dalam otak tanpa prejudis. Sebuah tindakan nekat. Padahal itu hanyalah kalimat yang sebetulnya bisa dengan mudah dipatahkan oleh satu fakta baru dari individu lain yang merasakan pengalaman empiris berbeda. Kalimat itu juga menjadi modal motivasi pas-pasan (walau tendensinya lebih kepada peringatan) yang belakangan saya temukan manfaatnya, khususnya untuk mengantisipasi sentimentalis dan sinisme yang hadir dalam berbagai bentuk dan warna layaknya bunglon.
Berdasarkan pengalaman pribadi, rasanya tidak ada pengetahuan ataupun keahlian yang bisa didapatkan dengan mudah. Semuanya butuh pengorbanan, baik fisik maupun mental. Dan layaknya medan pertempuran, ada yang mampu bertahan hingga muncul sebagai pemenang, pemimpin atau avant garde. Ada pula yang sekali terjungkal, tak pernah lagi bangkit menata hati. Mati untuk selamanya.
Menengok sejenak pencapaian anak-anak bangsa seperti Sukarno yang berjuang hingga kita dapat menghirup segarnya udara kebebasan, B.J. Habibie yang kegeniusannya tidak perlu lagi dipersoalkan, Chairil Anwar yang karyanya tidak hanya berpengaruh dalam kesusasteraan melayu di Indonesia tapi juga di Malaysia dan deretan anak-anak kecil yang telah mengharumkan nama negara di persada Olimpiade fisika, matematika dan seterusnya memang selalu membuat kita tercengang. Namun berapa banyak yang menyadari bahwa mereka juga bermula dari tidak tahu, kemudian menjadi tahu. Apa yang menempatkan mereka di level lebih tinggi tidak lain adalah kerja keras dan semangat yang tak pernah bisa dipatahkan oleh apa pun.
Tidak dipungkiri dalam proses belajar, kita sering dihadapkan dengan pelbagai rintangan ataupun guru yang lebih cenderung menggunakan rotan atau sarkasme untuk menohok tanpa ampun. Namun tidak dipungkiri juga bahwa rintangan inilah yang menjadikan kita jauh lebih kuat dan tentu saja masih banyak guru yang selalu siap memberikan pedoman tanpa pamrih. Siap menopang tanpa pernah mengharapkan gelar kehormatan. Tapi kalau dipikir secara saksama, patutkah teguran demi kebaikan dan lecutan demi menyadarkan itu membuat fondasi pertahanan kita hancur berantakan?
Bukan itu saja, eksistensi hukum kontras dijamin akan selalu membuat kita repot, bahkan kewalahan. Di saat sebahagian orang mengatakan, "You did good man." Sebagian lagi dengan cara yang tidak manusiawi akan mengatakan hasil usaha kita tidak lebih baik dari sampah. Sedih tetap sedih. Pahit memang pahit. Kita boleh saja kecewa, hilang selera makan. Tetapi tidak perlu berputus asa. Toh cuma kelompok ad hoc, bukannya semua. Lagi pula dunia ini masih mengorbit pada paksinya dan kehidupan manusia tetap terikat pada "SUDAH, SEDANG dan AKAN." Jadi kepada mereka yang tidak manusiawai ini, tidak perlu kita memendam benci berlebihan. Haha
Pada akhirnya, semua itu hanyalah selebrasi dari akumulasi proses untuk mendorong kemampuan kita. Dan ketika seorang manusia mulai belajar untuk tahu, ketahanan fisik dan mental memang perlu untuk membuatnya terus tegak hingga akhir. Tak tergoyahkan.
Selengkapnya...
Minggu, 16 Oktober 2011
Permaisuri menenggak cap tikus
Seorang permaisuri sedang menenggak cap tikus
Mata dan jiwanya merah karena rakus
Belum sempat
ditenggaknya gelas ke-empat
Berubah mulutnya menjadi kakus
Selengkapnya...
Jumat, 14 Oktober 2011
Sajak Personifikasi (RENDRA- Sajak Bulan Mei di Indonesia)
Aku tulis sajak ini di bulan
gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak
lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa
alamat
Kelakuan muncul dari
sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur
simpul-simpul sejarah
O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya
Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.
Selengkapnya...
ASU (Joko Pinurbo)
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah; tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”
Selengkapnya...
Presiden Kentang Malah Kentut
Aku duduk bersama presiden kentang
menikmati secangkir petang
Jiwanya bersemangat bercerita tentang
orang berutang
yang berlari kencang
dikejar babi hutan
Sungguh khusyuk telingaku mendengarkan
Saat tawaku tak tertahankan
melihat ia menggambarkan
bokong orang berutang
digigit babi hutan
Mendadak ia melepaskan kentut yang penuh kekuatan
Huh..!
Seisi dunia melenguh
Aku mengeluh
Semua mata tertuju padaku
Mereka pikir aku yang kentut
Tapi presiden kentang
teriak lantang
pada semua kentang
"Saya yang kentut.
Bukan kolegaku ini yang hanya pentung!"
Presiden kentang memang baik
Dia mahu meluruskan persoalan kentut
Meski dunia mengutuk-ngutuk
Ah...
Lama aku diam tertunduk
dan dalam diam aku terkentut
Selengkapnya...
Kamis, 13 Oktober 2011
"Ini Hadiah Untukmu Pelacur."
Ditengah deburan angin yang mengigit
sekujur pipi malam
Kau melangkah perlahan
dengan setangkup nyeri dan gigil
di sulbimu
Entah apa yang sudah mereka lakukan padamu
Yang kutahu kau memberikan perlawanan sengit
pada hidup yang lama dibungkus keserakahan
Nafsu
Jemu
Semu
Semuanya berpadu lalu menjerat
lehermu yang seharum karat
Apa yang tersisa untukmu?
Tidak ada...
Siapa yang bakal melindungimu?
Belum tentu ada...
Namun tetap juga kau susuri setiap keinginan langkah
Apa yang membuatmu begitu tabah pelacur
Sejenak, kau berhenti menenggak napas ketenangan
tanpa melihat aku berdiri kelelahan
Kelelahan melihat kau coba mengobati
sederet lukamu dengan perahan jeruk
Kau tersenyum manis kepada sekelebat bayangan belut
yang berlalu
meski rasa di dalam sumsummu sudah lama lebur,
tenggelam di dalam selut
Masih mampukah kau pelacur?
Sekalipun jiwamu abadi sepanjang rentang waktu
seisi dunia masih selalu siap menentangmu
Ah, pelacur...
Perih memang perih
Tapi sejak detik pertama tubuh aibmu diludah
Telah kupanjatkan doa yang tak sudah-sudah
"Jangan pernah kau patahkan sendi kekuatanmu
Masih ada denyut yang mahu bermandi darah menopangmu."
Selengkapnya...
Ke Yunani Sambil Onani
Seorang pemuda gagah sedang berjalan kaki
ke Yunani
Wajahnya bercahaya bagaikan panahan kilat
Jiwanya bertenaga laksana gerakan silat
Tapi saat melihat tanah ia onani
Saat melihat air ia onani
Saat melihat api ia onani
Saat melihat udara ia onani
Saat melihat bidadari
dia mengambil cangkul petani
Dihantamnya tengkuk bidadari dengan berani
Lalu dia memberikan tubuh dan hati bidadari
dengan takzim kepada petani
Sampai di Yunani dia dibunuh segerombolan penyair
Selengkapnya...